BPBD dan Universitas Bengkulu kerjasama dalam pembuatan Peta Daerah Rawan Bencana Kabupaten Bengkulu Selatan

Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan salah satu Kabupaten di provinsi Bengkulu yang rawan terhadap bencana, dimana semua jenis kebencanaan, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, sampai puting beliung berpotensi terjadi. 

Dari 11 Kecamatan, 6 Kecamatan masuk kategori risiko bencana tinggi dan 5 daerah berisiko bencana sedang, yang artinya, tidak ada daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan yang masuk kategori risiko bencana rendah. 

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bengkulu Selatan, Yarusdi, S.Sos menyatakan, pembuatan peta rawan bencana ini diharapan agar masyarakat memahami kondisi kebencanaan di lingkungannya, serta untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat yang di daerah rawan bencana. Hanya gempa yang tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadi. Tapi kalau banjir, kita lihat dari kondisi alam termasuk banjir rob karena air laut yang naik. Sedangkan, tsunami dan gempa tidak bisa diprediksi,” katanya.

Menurut Yarusdi, setelah peta rawan bencana disusun, langkah selanjutnya adalah menyusun Kajian Resiko Bencana (KRB) di tingkat dan KRB itu akan dilanjutkan penyusunan rencana penanggulangan bencana (RPB), dari RPB rencana kontingensi jenis kebencanaan untuk setiap Kecamatan dapat disusun. 

“Dari rencana dan peta rawan bencana itu, pemerintah desa bisa menyusun, misalnya jalur evakuasi manakala akan berpotensi bencana, tempat evakuasi atau pengungsian. Kalau itu sudah ditambah kesiapan personel dan peralatan bencana, maka bencana itu bisa kita hadapi. Ada yang bisa kita cegah, ada yang tidak bisa, seperti gempa. Tapi, kalau kita punya kesiapsiagaan, paling tidak bisa meminimalisasi dampak atau risiko,” imbuhnya. 

Yarusdi menyatakan, perlunya kewaspadaan dan kesadaran masyarakat akan potensi bencana menjadi mutlak. Selain untuk mencegah terjadi bencana, dua hal tersebut dapat meminimalisasi potensi korban meninggal dunia dan kerugian harta benda.

“Jika masyarakat sadar akan potensi bencana di lingkungan sekitarnya, maka mereka dapat melakukan mitigasi bencana. Contohnya dengan rutin memeriksa dan membersihkan saluran-saluran air di sekitarnya, supaya tidak tersumbat oleh sampah atau material lainnya. Memeriksa tebing-tebing, apakah vegetasinya atau tembok penahan tanahnya masih bagus,” tuturnya.

Yarusdi menambahkan, jika terjadi retakan di tanah atau di tembok penahan tersebut apalagi ada aliran air yang merembes, hal itu merupakan tanda bahwa bisa terjadi potensi longsoran yang berbahaya. 

“Dalam kondisi demikian khususnya ketika terjadi hujan lebat, sebaiknya masyarakat yang bermukim di sekitar tebing seperti itu melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman. Hal yang sama bisa dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Jika tinggi muka air sungai sudah mencapai level yang membahayakan, segera lakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi,” imbuhnya. 

yarusdi pun menjelaskan bahwa dalam periode golden time yakni nol sampai tiga puluh menit saat terjadinya bencana, 34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang terbentuk karena pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi.

“31% bersumber dari pertolongan orang-orang terdekat, yakni anggota keluarga yang juga memiliki pengetahuan dan rencana kontigensi yang dilatihkan jika terjadi bencana, 17% faktor keselamatan lainnya bersumber dari pertolongan komunitas. Peran BPBD, Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja, karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana,” jelasnya.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *